Dominasi Agama dan Budaya dalam Integrasi Sosial

Masyarakat Fakfak adalah masyarakat yang komunal, mereka sangat mementingkan hubungan persaudaraan dan kekerabatan. Pada mulanya hubungan persaudaraan itu hanya mengikat antara keluarga kemudian berlanjut antara suku lalu menjadi persaudaraan dalam satu wilayah geografs. Faktor sejarah tentang peperangan, permusuhan dan pengayuan (kanibalisme) antar suku dan kelompok yang menjadi dasar peraudaraan tersebut. Penguatan hubungan persaudaraan diyakini sebagai jalan untuk memelihara perdamaian dan menghadapai kekuatan musuh yang mungkin akan datang dari luar.

Kehadiran agama Islam sejak abad ke 16 dan Kristen serta Katolik pada abad ke-19 (Onim, 2007) dan perjumpaannya dengan tradisi dan budaya Fakfak justru melahirkan sejumlah nilai dan norma sosial yang mengikat masyarakat Fakfak dalam keseimbangan. Masyarakat tidak ingin penetrasi agama memecah belah hubungan kekerabatan dan persaudaraan yang telah terbentuk di antara mereka sejak lama. Maka terbentuklah tradisi agama keluarga, yang meyakini bahwa meskipun dalam satu keluarga ada perbedaan agama, tetapi mereka merasa harus tetap menjadi keluarga yang utuh. Maka perbedaan agama tidak menjadi soal bagi masyarakat di Fakfak.

Dari pemahaman ini muncul filosofi dan kearifan lokal yang disebut Satu Tungku Tiga Batu, sebagai lambang harmoni sosial di antara masyarakat. Secara sederhana filosofi Satu Tungku Tiga Batu adalah gambaran kultural tentang persaudaraan masyarakat Fakfak. Dalam konstruksi tradisional masyarakat Fakfak, Satu Tungku Tiga Batu menggambarkan keseimbangan, ibarat satu tungku yang ditopang oleh tiga batu saat memasak makanan oleh orang-orang zaman zaman dahulu. Tanpa tiga kaki dari batu, tungku tersebut tidak akan stabil dan mengakibatkan masakan akan mudah tumpah. Tiga batu ini diibaratkan sebagai tiga agama besar yang berada di Fakfak yaitu agama Islam, Katolik dan Protestan (Iribaram, 2011). Dalam pemikiran masyarakat adat Fakfak, kalau tiga kaki dari batu itu stabil maka semua persoalan dapat diatasi dengan baik, sehingga implementasi dari filosofi satu tungku tiga batu dimaknai bukan saja dalam kehidupan bergama tetapi menjangkau hingga semua aspek kehidupan dalam masyarakat. Nilai-nilai dasar dari satu tungku tiga batu sebagaimana tertuang dalam bahasa Baham-Iha adalah tentang cinta kasih (idu-idu), perdamaian (mani nina) dan kerukunan (yoyo).

Idu-idu adalah pandangan bahwa semua orang Fakfak harus membangun cinta kasih di antara mereka. Semua masalah harus diselesaikan dengan menanggalkan emosi dan menumbuhkan semangat cinta kasih yang menjadi dasar dari persaudaraan sejati. Sedangkan Mani Nina adalah pandangan bahwa tujuan hidup sesorang di dunia ini adalah untuk menciptakan perdamaian. Sehingga bagi masyarakat Fakfak, hanya orang-orang yang bisa menjaga perdamaian di dunia ini yang bisa memperoleh kedamaian di alam sesudah mati (akhirat). Adapun Yoyo adalah pandangan tentang kerukunan yang menjadi tanggung jawab semua orang Fakfak. (wawancara dengan Jubair Hubrow, 6 November 2013)

Beberapa praktik sosial yang melambangkan toleransi dan kerukunan antar umat beragama dapat dilihat pada seremoni penyambutan Salib Tuhan Yesus yang melibatkan semua kelompok agama di Fakfak. Setiap hari besar agama seperti Lebaran dan Natal dirayakan dengan penuh kegembiraan, saling mengunjungi dan mengirim makanan dan hadiah. Demikian pula pembangunan rumah-rumah ibadah yang dilakukan secara bersama-sama dengan tradisi baku bantu/masohiatau gotong royong di antara umat Islam dan Kristen. Tidak jarang seorang Kristen menjadi ketua pembangunan masjid, dan juga sebaliknya. Mereka menganggap agama yang mereka anut bukanlah alasan untuk memisahkan ikatan kekeluargaan dan persaudaran di antara mereka. Maka dengan mudah kita bisa menemukan sebuah keluarga yang terdiri dari ketiga agama; Islam, Kristen dan Katolik. Sebagaimana dituturkan oleh Bapak Simon Hindom sebagi berikut:

“Di keluarga saya, delapan bersaudara, ada yang menjadi Kristen, ada yang Islam, dan Katolik. Ada saudara saya haji, ponakan saya bahkan ada yang jadi pastor. Dalam tradisi kami di sini, sudah terbiasa berbagi agama, asalkan ikhlas dan taat. Jadi, misalnya karena pernikahan seorang perempuan terpaksa menjadi mualaf. Maka, nanti salah satu anaknya disarankan ikut agama Kristen atau Katolik. Ini demi kebersamaan”
(wawancara dengan Simon Hindom, 28 Oktober 2013).

Satu Tungku Tiga Batu merupakan hasil akulturasi antara adat dan agama dalam masyarakat Fakfak yang melahirkan nilai-nilai toleransi, kerukunan dan kesediaan untuk menerima perbedaan. Melalui tradisi ini semua sengketa dan pertentangan dalam masyarakat Fakfak selalu diselesaikan dengan cara-cara dialogis yang dikenal dengan istilah dudu tikar. Dalam tradisi dudu tikar, semua masalah harus diselesaikan secara damai dan keluargaan, karena berakar dari filosofi; Idu-idu, Mani Nina dan Yoyo yang telah disebutkan di atas. Tradisi dudu tikar adalah upaya untuk menjaga nilai-nilai tersebut, agar masyarakat Fakfak bisa terus hidup penuh cinta, rukun dan damai dengan sesama saudaranya.

Fenomena masyarakat Fakfak memperlihatkan bahwa integrasi sosial yang melintasi batas-batas agama dan budaya dapat terjadi dengan baik karena dibingkai dalam pemahaman kultural dan religiositas masyarakat setempat yang melahirkan nilai-nilai lokal sebagai norma bersama. Nilai tersebut tergambarkan dari filosofi Satu Tungku Tiga Batu yang diterima semua masyarakat sebagai pedoman dalam membangun hubungan anatar sesama. Bahwa setiap orang boleh memiliki agama yang berbeda, berasal dari etnis yang berbeda, memiliki kepentingan politik yang berbeda tetapi mereka wajib saling menghormati dan saling menghargai dalam kehidupan sosial. Nila-nilai lokal yang menyatukan masyarakat seperti itu yang kemudian disebut Biku Parekh sebagai moral contract (Parekh, 2008). Moral contract adalah syarat penting untuk mengukuhkan integrasi sosial yang kuat dalam masyarakat. Kesadaran terhadap nilai-nilai moral yang mendasar dalam masyarakat akan mempengaruhi praktik sosial, sehingga terjadi dalam relasi yang harmonis dan seimbang sehingga tidak terjadi konflik. Antropolog Amerika Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski (1953) menyebut kondisi yang demikian itu sebagai cultural-determinism bagi masyarakat setempat, yaitu ketika dinamika sosial masyarakat ditentukan oleh nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.

Sebenarnya hubungan antara agama dengan kebudayaan merupakan sesuatu yang ambivalen. Agama dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memiliki wilayah yang bisa saling tumpang-tindih. Kenyataan tersebut tidak selalu menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya atau sebaliknya. Sehingga dalam masyarakat Fakfak, agama dan budaya bisa menyatu dan menjadi dua unsur penting yang berperan dalam mempengaruhi aktivitas masyarakat. Seperti kajian Weber (1958) tentang etika Protestan dan munculnya kapitalisme di Eropa Barat, ataupun kasus agama Sinto dan budaya disiplin pada masyarakat Jepang. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik-menarik antara kepentingan agama di satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain. Proses akulturasi antara agama budaya lalu melahirkan serangkaian norma sosial yang disebut Piere Bourdieu (1983) sebagai habitus yang melahirkan praktik-praktik sosial. Habitus itulah yang menjadi struktur mental atau kognitif, yang dengannya orang-orang di Fakfak berhubungan dengan dunia sosial yang kompleks, dan terkadang antagonistik.

Komentar