Teorisasi Konsep Integrasi

Secara umum teori utama yang dipilih sebagai grand theory dalam memahami fenomena yang menjadi locus penelitian ini, yakni teori integrasi sosial (sosial integration). Namun untuk menjelaskan kasus integrasi sosial yang terjadi di Fakfak, maka grand theory tersebut akan diperkuat oleh beberapa teori dan konsep lain yang memiliki relevansi, seperti teori tentang konflik dan konsensus serta teori reproduksi sosial. Berikut ini akan dijelaskan aspek siginifikan dari konsep-konsep tersebut sehingga membentuk sebuah kerangka teoritik yang diperlukan untuk menjelaskan dinamik integrasi sosial yang terjadi pada masyarakat Fakfak.

Secara sosiologis teori integrasi sosial merupakan bagian dari paradigma fungsionalisme struktural yang diperkenalkan Talcott Parson (1927-1979). Paradigma ini mengandaikan bahwa pada dasarnya masyarakat berada dalam sebuah sistem sosial yang mengikat mereka dalam keseimbangan (ekuilibrium). Hal ini tercermin dari dua pengertian dasar integrasi sosial yaitu, pertama, pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu, dan kedua, menyatukan unsur-unsur tertentu dalam suatu masyarakat sehingga tercipta sebuah tertib sosial (Ritzer, 2009:258). Biku Parekh (2008:84-87) menyebutkan bahwa proses integrasi sosial dalam sebuah masyarakat hanya dapat tercipta bila terpenuhi tiga prasyarat utama. Pertama, adanya kesepakatan dari sebagian besar anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental dan krusial (moral contract). Kedua, sebagian terhimpun dalam berbagai unit sosial, saling mengawasi dalam aspek-aspek sosial yang potensial. Hal ini untuk menjaga terjadinya dominasi dan penguasaan dari kelompok mayoritas atas minoritas. Ketiga, terjadi saling ketergantungan diantara kelompok-kelompok sosial yang terhimpun di dalam suatu masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial secara menyeluruh. Kontrak moral (a moral contract) adalah ketaataan terhadap nilai- nilai yang menjadi platform bersama dalam masyarakat, sehingga membentuk semacam kepemilikaan bersama atas nilai-nilai tersebut. Ia menjadi titik temu perbedaan yang harus ditaati untuk menjamin tegaknya perdamaian. Ketaatan pada moral contract akan menempatkan masyarakat pada kondisi yang equal, sebab masyarakat memiliki hak dan tanggungjawab yang sama dalam kehidupan sosial (Parekh, 2008).

Proses integrasi sosial dalam sebuah masyarakat tentu tidak menafikkan adanya konflik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari fenomena sosial dan perubahan. Sebab konflik, seperti yang dijelaskan Ralf Dahrendrof adalah fenomena sosial yang selalu hadir (inherent omni presence) dalam setiap masyarakat manusia (Ritzer, 2009). Dengan kata lain konflik yang hebat sekalipun memiliki peluang untuk dapat dipadamkan atau didamaikan dengan mengkombinasikan dua pola sekaligus. Pertama, membangun konsensus yang mempertemukan “kepentingan-kepentingan” kelompok yang bertikai tersebut kedalam sebuah tatanan kekuasaan yang bisa mengurangi perbedaan (Maswadi Rauf, 2000:15. Kedua, melakukan usaha yang serius untuk mendorong penguatan kembali nilai-nilai kebersamaan yang disebut Parekh (2008:87) sebagai “kontrak moral” antar kelompok dan individu dalam sebuah masyarakat majemuk. Pierre Bourdieu (1930-2002), menawarkan konsep habitus dan field (ranah) untuk menganalisis kontestasi nilai dan norma dalam ruang sosial yang luas. Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang dengannya orang berhubungan dengan dunia sosial. Menurut Bourdieu (1977:72), individu menggunakan habitus untuk berhubungan dengan realitas sosial karena ia telah dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi yang mereka gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi dan mengevaluasi dunia sosial. Seperti konsepsi tentang benar-salah, baik-buruk, berguna-tidak berguna, terhormat-terhina (Mohammad Adib, 2012:97). Adapun field (ranah) merupakan jaringan relasional antar posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran indvidual. Oleh karena itu ranah bukan ikatan intersubyektif antara individu, namun semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu. Ranah merupakan metafora yang digunakan Bourdieu untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang dikandungnya (Ritzer dan Goodman, 2010:582-590). Praksis dari kerangka konseptual Bourdieu ini memiliki relevansi untuk menjelaskan fenomena harmoni sosial yang tebentuk pada masyarakat Fakfak. Sebab sebuah masyarakat yang teratur dan harmonis merupakan perwujudan dari adanya sistem nilai yang dianut oleh masyarakat yang cenderung menghindari konflik dan adanya ruang sosial yang mendukung untuk terwujudnya kondisi tersebut.

Komentar