Masyarakat Fakfak dan segenap kebudayaannya adalah sesuatu yang dinamis dan akan terus mengalami perubahan sesuai konteks ruang dan waktu. Setiap saat nilai-nilai budaya akan menghadapi tantangan, benturan bahkan kontestasi dengan nilai-nilai yang lain yang datang dari luar. Ataupun nilai-nilai baru yang muncul dari dalam masyarakat sebagai konsekwensi dari proses perubahan itu sendiri. Dalam hal ini kita bisa mengidentifikasi beberapa persoalan sebagai tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat Fakfak.
Pertama, penyelesaian berbagai masalah di Papua seperti masalah-masalah politik, ekonomi, sosial budaya dan hukum yang belum tuntas, diyakini secara struktural maupun kultural akan terus menekan masyarakat Fakfak. Sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Papua Barat, masyarakat Fakfak tidak bisa menghindar dari berbagai problematika yang terjadi di kota-kota besar seperti Jayapura dan Manokwari dan berpengaruh ke banyak daerah di wilayah Papua lainnya. Isu-isu politik seperti separatisme dan otonomi khusus turut membelah masyarakat dalam kelompok yang saling bertentangan. Hal ini tampak dari kehadiran kelompok-kelompok yang semakin militan dalam memperjuangkan hak-hak politik Papua di Fakfak seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Komite Nasional Pemuda Papua Barat (KNPPB) pimpinan Arnoldus Koncu, dan kelompok yang berlawanan seperti Barisan Merah Putih pimpinan Islamil Bauw, serta milisi-milisi sipil yang disponsori aparat keamanan. Sementara itu pemberlakukan Otsus dengan segala implikasinya dan pembangunan yang belum melahirkan kesejahteraan merupakan tantangan bagi setiap usaha untuk menjaga stabilitas sosial dalam masyarakat Fakfak.
Kedua, potensi konflik keagamaan yang diintrodusir melalui isu Islamisasi dan radikalisasi agama yang sedang berlangsung di Papua juga menjadi tantangan di Fakfak. Perubahan demografis dengan meningkatnya populasi umat Islam secara signifikan, ternyata dirasakan sebagai ancaman serius bagi sebagian besar masyarakat Kristen Papua. Sebab bagi sebagian gerakan-gerakan pro kemerdekaan, Islamisasi secara tidak langsung dianggap sebagai proses Indonesianisasi (Warta, 2011). Orang-orang Islam Papua sendiri menyadari konstruksi identitas Papua yang Kristen itu. Saat ini mereka sedang berupaya merekonstruksi kembali sejarah agama di Papua, bahwa Islam pada dasarnya bukan merupakan agama baru di Papua tetapi justru merupakan agama pertama yang dikenal masyarakat Papua. Klaim ini berdasarkan fakta sejarah yang terus dimunculkan bahwa Islam telah lama hadir, hampir dua abad sebelum agama Kristen masuk ke Papua. Beberapa publikasi yang terkenal misalnya tulisan Toni Wanggai (2009) “Rekonstruksi Sejarah Masuknya Islam di Papua”, dan tulisan Ali Atwa (2008) “Islam atau Kristen Agama Orang Papua?”, merupakan upaya intelektual Muslim Papua untuk memperkuat klaim sejarah Islam di Papua. Bahkan pemerintah daerah Kabupaten Fakfak sendiri pernah membuat penelitian yang diseminarkan pada tahun 2006 tentang sejarah masuknya Islam di Papua. Kesimpulan penting dari seminar tersebut bahwa Islam adalah agama pertama yang masuk ke Papua dan oleh karenanya merupakan agama tuan tanah di Papua. Gugatan terhadap eksistensi agama dan hubungannya dengan konstruksi identitas ke-Papua-an, merupakan suatu kontestasi identitas yang menarik sekaligus menghawatirkan karena akan memicu konflik keagamaan di masa yang akan datang. Fakfak sendiri telah menjadi salah satu mercusuar dakwah Islam di Papua, sehingga banyak orang menyebut Fakfak sebagai “Serambi Mekah-nya” Papua. Fakta ini tidak terbantahkan karena dari 71.069 jumlah penduduk Fakfak pada tahun 2012, mayoritas beragama Islam (53,80%), dan sebagian besar di antaranya adalah Muslim pribumi yang cukup taat bahkan sebagian telah menjadi tokoh-tokoh Islam yang populer di Papua. Di sini berdiri salah satu gerakan Islam yang paling agresif dalam dakwah Islam di Papua, yaitu Al-Fatih Kaafah Nusantara (AFKN), sebuah organisasi dakwah yang didirikan oleh Ustadz Mohamed Zaaf Fadzlan Garamatan, seorang warga asli Fakfak. AFKN memiliki misi untuk melanjutkan proses Islamisasi di Papua yang sempat terhenti oleh misi zending dan kolonialisme Belanda. Bagi beberapa kelompok Kristen di Papua, keberadaan ormas Islam dengan dakwahnya yang semakin marak belakangan ini telah menjadi ancaman bagi Kristen (ICG, 2008).
Kontestasi yang demikian menjadikan hubungan antar agama di hampir seluruh tempat di Papua, termasuk Fakfak menjadi tegang. Padahal sebagaimana telah dibahas dalam bagian-bagian sebelumnya bahwa Fakfak adalah daerah Muslim terbesar di Papua yang berhasil meletakkan dasar-dasar toleransi yang kuat yang berakar pada kultur dan adat-istiadat masyarakat setempat. Pertanyaan yang fundamental saat ini adalah bagaimana mempertahankan norma dan kearifan lokal di Fakfak agar tetap fungsional di tengah berbagai tekanan dan proses perubahan sosial yang seringkali tidak bisa dicegah. Dalam beberapa kasus proses integrasi sosial melemah justru sejalan dengan semakin melemahnya nilai-nilai sosial yang selama ini berfungsi sebagai crosscutting affiliation dan crosscutting loyality dalam sebuah masyarakat. Sebagaimana kasus melemahnya tradisi pela dan gandong yang tidak bisa mengendalikan konflik sosial bernuansa agama di Ambon. Sebagian sosiolog percaya bahwa modernisasi yang melanda Indonesia (termasuk komunikasi dan budaya) menjadi salah satu penyebab bergesernya oriantasi nilai budaya seperti pela dan gandong yang bersifat kultural religius, melemah menjadi bersifat simbolik semata. Hal ini terutama di kalangan anak-anak muda yang tidak memiliki cultural sense terhadap kebudayaannya sendiri.
Masyarakat Fakfak membutuhkan strategi bertahan dari globalisasi dan modernisasi yang membawa serta pengaruh-pengaruh buruk bagi eksistensi kebudayaan. Maka masyarakat lokal seperti di Fakfak tidak memiliki pilihan lain, selain melakukan penguatan nilai-nilai budaya, juga perlu beradaptasi secara keratif, sehingga bisa menerima proses perubahan tanpa harus larut dalam perubahan itu sendiri. Masyarakat perlu mengenali lingkungan strategisnya, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut. Studi ini menunjukkan bahwa masyarakat Fakfak bisa mempertahankan nilai-nilai budaya dan kearifan lokalnya justru karena mereka membuka diri terhadap kebudayaan lain. Sehingga berupa-rupa kebudayaan, ideologi dan agama yang masuk ke Fakfak saling berinteraksi dan membentuk kebudayaan Fakfak saat ini. Kehadiran berbagai kelompok pendatang dari Maluku, Sulawesi, Arab dan Cina sejak beberapa abad yang lalu justru telah memperkaya kebudayaan Fakfak. Upaya lainnya adalah melakukan transformasi kultural agar budaya-budaya lokal selalu sesuai dengan semangat zaman. Itu artinya selain membuka diri pada perubahan, masyarakat juga dituntut untuk melakukan tafsir dan kontekstualisasi terhadap tradisi, budaya, dan adat istiadat yang mungkin dianggap tidak sesuai lagi dengan kehidupan saat ini.
Pertama, penyelesaian berbagai masalah di Papua seperti masalah-masalah politik, ekonomi, sosial budaya dan hukum yang belum tuntas, diyakini secara struktural maupun kultural akan terus menekan masyarakat Fakfak. Sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Papua Barat, masyarakat Fakfak tidak bisa menghindar dari berbagai problematika yang terjadi di kota-kota besar seperti Jayapura dan Manokwari dan berpengaruh ke banyak daerah di wilayah Papua lainnya. Isu-isu politik seperti separatisme dan otonomi khusus turut membelah masyarakat dalam kelompok yang saling bertentangan. Hal ini tampak dari kehadiran kelompok-kelompok yang semakin militan dalam memperjuangkan hak-hak politik Papua di Fakfak seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Komite Nasional Pemuda Papua Barat (KNPPB) pimpinan Arnoldus Koncu, dan kelompok yang berlawanan seperti Barisan Merah Putih pimpinan Islamil Bauw, serta milisi-milisi sipil yang disponsori aparat keamanan. Sementara itu pemberlakukan Otsus dengan segala implikasinya dan pembangunan yang belum melahirkan kesejahteraan merupakan tantangan bagi setiap usaha untuk menjaga stabilitas sosial dalam masyarakat Fakfak.
Kedua, potensi konflik keagamaan yang diintrodusir melalui isu Islamisasi dan radikalisasi agama yang sedang berlangsung di Papua juga menjadi tantangan di Fakfak. Perubahan demografis dengan meningkatnya populasi umat Islam secara signifikan, ternyata dirasakan sebagai ancaman serius bagi sebagian besar masyarakat Kristen Papua. Sebab bagi sebagian gerakan-gerakan pro kemerdekaan, Islamisasi secara tidak langsung dianggap sebagai proses Indonesianisasi (Warta, 2011). Orang-orang Islam Papua sendiri menyadari konstruksi identitas Papua yang Kristen itu. Saat ini mereka sedang berupaya merekonstruksi kembali sejarah agama di Papua, bahwa Islam pada dasarnya bukan merupakan agama baru di Papua tetapi justru merupakan agama pertama yang dikenal masyarakat Papua. Klaim ini berdasarkan fakta sejarah yang terus dimunculkan bahwa Islam telah lama hadir, hampir dua abad sebelum agama Kristen masuk ke Papua. Beberapa publikasi yang terkenal misalnya tulisan Toni Wanggai (2009) “Rekonstruksi Sejarah Masuknya Islam di Papua”, dan tulisan Ali Atwa (2008) “Islam atau Kristen Agama Orang Papua?”, merupakan upaya intelektual Muslim Papua untuk memperkuat klaim sejarah Islam di Papua. Bahkan pemerintah daerah Kabupaten Fakfak sendiri pernah membuat penelitian yang diseminarkan pada tahun 2006 tentang sejarah masuknya Islam di Papua. Kesimpulan penting dari seminar tersebut bahwa Islam adalah agama pertama yang masuk ke Papua dan oleh karenanya merupakan agama tuan tanah di Papua. Gugatan terhadap eksistensi agama dan hubungannya dengan konstruksi identitas ke-Papua-an, merupakan suatu kontestasi identitas yang menarik sekaligus menghawatirkan karena akan memicu konflik keagamaan di masa yang akan datang. Fakfak sendiri telah menjadi salah satu mercusuar dakwah Islam di Papua, sehingga banyak orang menyebut Fakfak sebagai “Serambi Mekah-nya” Papua. Fakta ini tidak terbantahkan karena dari 71.069 jumlah penduduk Fakfak pada tahun 2012, mayoritas beragama Islam (53,80%), dan sebagian besar di antaranya adalah Muslim pribumi yang cukup taat bahkan sebagian telah menjadi tokoh-tokoh Islam yang populer di Papua. Di sini berdiri salah satu gerakan Islam yang paling agresif dalam dakwah Islam di Papua, yaitu Al-Fatih Kaafah Nusantara (AFKN), sebuah organisasi dakwah yang didirikan oleh Ustadz Mohamed Zaaf Fadzlan Garamatan, seorang warga asli Fakfak. AFKN memiliki misi untuk melanjutkan proses Islamisasi di Papua yang sempat terhenti oleh misi zending dan kolonialisme Belanda. Bagi beberapa kelompok Kristen di Papua, keberadaan ormas Islam dengan dakwahnya yang semakin marak belakangan ini telah menjadi ancaman bagi Kristen (ICG, 2008).
Kontestasi yang demikian menjadikan hubungan antar agama di hampir seluruh tempat di Papua, termasuk Fakfak menjadi tegang. Padahal sebagaimana telah dibahas dalam bagian-bagian sebelumnya bahwa Fakfak adalah daerah Muslim terbesar di Papua yang berhasil meletakkan dasar-dasar toleransi yang kuat yang berakar pada kultur dan adat-istiadat masyarakat setempat. Pertanyaan yang fundamental saat ini adalah bagaimana mempertahankan norma dan kearifan lokal di Fakfak agar tetap fungsional di tengah berbagai tekanan dan proses perubahan sosial yang seringkali tidak bisa dicegah. Dalam beberapa kasus proses integrasi sosial melemah justru sejalan dengan semakin melemahnya nilai-nilai sosial yang selama ini berfungsi sebagai crosscutting affiliation dan crosscutting loyality dalam sebuah masyarakat. Sebagaimana kasus melemahnya tradisi pela dan gandong yang tidak bisa mengendalikan konflik sosial bernuansa agama di Ambon. Sebagian sosiolog percaya bahwa modernisasi yang melanda Indonesia (termasuk komunikasi dan budaya) menjadi salah satu penyebab bergesernya oriantasi nilai budaya seperti pela dan gandong yang bersifat kultural religius, melemah menjadi bersifat simbolik semata. Hal ini terutama di kalangan anak-anak muda yang tidak memiliki cultural sense terhadap kebudayaannya sendiri.
Masyarakat Fakfak membutuhkan strategi bertahan dari globalisasi dan modernisasi yang membawa serta pengaruh-pengaruh buruk bagi eksistensi kebudayaan. Maka masyarakat lokal seperti di Fakfak tidak memiliki pilihan lain, selain melakukan penguatan nilai-nilai budaya, juga perlu beradaptasi secara keratif, sehingga bisa menerima proses perubahan tanpa harus larut dalam perubahan itu sendiri. Masyarakat perlu mengenali lingkungan strategisnya, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut. Studi ini menunjukkan bahwa masyarakat Fakfak bisa mempertahankan nilai-nilai budaya dan kearifan lokalnya justru karena mereka membuka diri terhadap kebudayaan lain. Sehingga berupa-rupa kebudayaan, ideologi dan agama yang masuk ke Fakfak saling berinteraksi dan membentuk kebudayaan Fakfak saat ini. Kehadiran berbagai kelompok pendatang dari Maluku, Sulawesi, Arab dan Cina sejak beberapa abad yang lalu justru telah memperkaya kebudayaan Fakfak. Upaya lainnya adalah melakukan transformasi kultural agar budaya-budaya lokal selalu sesuai dengan semangat zaman. Itu artinya selain membuka diri pada perubahan, masyarakat juga dituntut untuk melakukan tafsir dan kontekstualisasi terhadap tradisi, budaya, dan adat istiadat yang mungkin dianggap tidak sesuai lagi dengan kehidupan saat ini.
Komentar
Posting Komentar