Pendahuluan

Sejauh ini, studi tentang perdamaian di Papua, masih dianggap sebagai sesuatu yang kurang menarik, dan seksi. Karena, dianggap keluar dari opini dominan, yang telah menkonstruksi Papua, sebagai wilayah konflik yang paling panas di Indonesia.

Para peneliti ilmu sosial dan dunia akademik, seakan terjebak pada diskursus konflik, yang cenderung hegemonik itu. Sehingga, berbagai penelitian tentang Papua, lebih menyoroti dinamika konflik, dan kekerasan.
(CSIS, 2006, LIPI, 2009)

Orang Papua masih dilihat sebagai objek yang diam, atau tidak punya prakarsa untuk menggagas perdamaian. Rentetan konflik politik, sosial, dan ekonomi yang memanjang, sejak integrasi Papua dengan Indonesia, dikonstruksikan sebagai narasi dominan, yang memperlihatkan kesulitan untuk membangun perdamaian Papua, berdasarkan inisiatif lokal.

Padahal masyarakat Papua, pada dasarnya, memiliki kekuatan dari dalam, untuk mengelola konflik sosial dan kekerasan, dengan cara-caranya sendiri. Yang kemudian, terbukti sukses mengendalikan konflik dan kekerasan. Sebagaimana, yang terjadi dengan masyarakat di wilayah Fakfak, Propinsi Papua Barat.

Situasi harmonis di Fakfak dan sekitarnya, menunjukkan bahwa terdapat, dinamika konflik dan integrasi yang terjadi secara berbeda, pada setiap wilayah di Papua.

Pada kasus Fakfak, integrasi sosial dapat berjalan dengan baik, karena ada berbagai faktor yang mendukungnya. Integrasi dibangun secara kultural, di atas kesadaran dan inisiatif lokal. Sehingga, memiliki makna dan kekuatan dari dalam, untuk merawat keragaman. Baik agama, budaya, maupun perbedaan kepentingan ekonomi, dan politik.

Hal ini berbeda dengan konsepsi integrasi sosial, yang selama ini dipahami, dan dipraktikkan, selama kurun waktu kekuasaan Orde Baru (1971-1998).

Keragaman di dalam masyarakat, selalu dipersepsikan sebagai sumber konflik, yang mesti ditangani dengan cara-cara yang hegemonik. Yaitu, melakukan penyeragaman, dengan memaksakan identitas nasional yang tunggal.


Model integrasi sosial yang dipaksakan melalui berbagai instrumen kekuasaan, tentu menafikkan kemungkinan adanya nilai-nilai tertentu, yang mampu mendorong masyarakat untuk mengelola perbedaan, dengan cara-cara yang tepat. Sehingga, melahirkan integrasi dan harmoni sosial yang otentik, dalam masyarakat.

Dalam banyak kasus, masyarakat di berbagai daerah, berhasil membangun dan menciptakan harmoni sosial, melalui mekanisme kultural yang dibangun di atas norma-norma, nilai-nilai, dan moralitas budaya yang mengikat mereka, dalam keseimbangan.

Sebut saja misalnya, tradisi Bela Baja di Pantar Nusa Tenggara Timur. Yang menjadi pengikat persaudaraan antara umat Islam, dan Kristen (Rita Pranawati, 2011). Atau, tradisi Pela Gandong di Maluku Tengah. Yang membantu proses penyelesaikan konflik di Maluku (Ernas, 2006). Demikian juga, tradisi Satu Tungku Tiga Batu di Fakfak Papua Barat (Iribaram, 2011).

Namun berbagai kearifan lokal tersebut, masih dipandang sebelah mata. Karena, dianggap tidak cukup kuat dan teruji, untuk menyelesaikan konflik. Cara pandang seperti ini, menyebabkan pemerintah cenderung mengabaikan cara-cara lokal, dalam penyelesaian konflik.


Hal ini misalnya, dapat diamati secara jelas, dalam proses penanganan masalah-masalah di Papua, yang berlangsung selama ini.

Pemerintah cenderung mengedepankan proses politik, dan kekuasaan. Padahal, konflik Papua telah berkembang, dengan dinamika yang sangat kompleks. Dari masalah historis, yang berkaitan dengan proses integrasi Papua ke dalam NKRI, yang disebut sebagai integrasi yang terlambat - the late integration (Jacques Bernard, 2004). Hingga, soal kegagalan pembangunan, diskriminasi sosial, dan kekerasan politik, dan pelanggaran HAM (Muridan S. Widjoyo, 2009:3-19).

Kegagalan dalam menyelesaikan berbagai persoalan, yang saling terkait dengan politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama di Papua, semestinya mendorong kita untuk mengkaji, berbagai alternatif lain dalam menyelesaikan masalah Papua.

Dalam dimensi tertentu, kita dapat belajar dari fenomena damai dan harmonis, yang terjadi di Fakfak dan sekitarnya. Dimana, perdamaian dan hamonisasi, melibatkan masyarakat dan nilai-nilai lokal, yang mengikat mereka dalam keseimbangan. Sehingga, relasi sosial yang terbentuk adalah, keberadaan (ko-eksistensi), kerjasama (kolaborasi), dan kerekatan (kohesi) yang membentuk integrasi sosial.


Apa yang terjadi di Fakfak, tentu menarik untuk dikaji dan diteliti. Di tengah harapan untuk mengelola konflik yang terjadi di Papua, dengan cara-cara yang lebih baik, beradab, demokratis, dan bisa diterima oleh semua kekuatan social politik, di Papua.

Dalam kaitan itu, maka kajian ini, ingin mengetahui faktor-faktor yang menjadi penentu di dalam integrasi sosial di Fakfak? Bagaimanakah proses pelembagaan nilai-nilai integrasi tersebut, sehingga membentuk kehidupan sosial yang damai, dan harmonis? Dan terakhir, studi ini juga akan mengidentifikasi, tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat Fakfak. Ditengah perubahan sosial yang terus terjadi, di Papua, dewasa ini?

(Researchgate.net, "Agama dan Budaya dalam Integrasi Sosial (Belajar dari Pengalaman Masyarakat Fakfak di Propinsi Papua Barat)", bab Pendahuluan, Saidin Ernas - Zuly Qodir)

Komentar